Jumat, 13 Januari 2012

HUKUM ACARA DI PTUN

Karakteristik Hukum Acara Di PTUN.
Secara sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang  bertujuan untuk mempertahankan Hukum Materil. Hal-hal yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya di atas, merupakan ketentuan-ketentuan tentang Hukum Materil di Peratun. Sementara itu mengenai Hukum Formilnya juga diatur dalam UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, mulai dari Pasal 53 s/d Pasal 132.
Penggabungan antara Hukum Materil dan Hukum Formil ini merupakan karakteristik tersendiri yang membedakan Peradilan TUN dengan Peradilan lainnya. Untuk mengantarkan pada pembahasan tentang Hukum Acara di Peratun ini, terlebih dahulu akan diuraikan hal-hal  yang merupakan ciri atau karakteristik Hukum Acara Peratun sebagai pembeda dengan Peradilan lainnya, khususnya Peradilan Umum (Perdata), sebagai berikut :
  • Adanya Tenggang Waktu mengajukan gugatan (Pasal 55).
  • Terbatasnya tuntutan yang dapat diajukan dalam petitum gugatan Penggugat (Pasal 53).
  • Adanya Proses Dismissal (Rapat Permusyawaratan) oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)  (Pasal 62).
  • Dilakukannya Pemeriksaan Persiapan sebelum diperiksa di persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 63).
  • Peranan Hakim TUN yang aktif (dominus litis) untuk mencari kebenaran materil (Pasal 63, 80, 85,95 dan 103).
  • Kedudukan yang tidak seimbang antara Penggugat dengan Tergugat, oleh karenanya “konpensasi” perlu diberikan karena kedudukan Penggugat diasumsikan dalam posisi yang lebih lemah dibandingkn dengan Tergugat selaku pemegang kekuasaan publik.
  • Sistem pembuktian yang mengarah pada pembuktian bebas yang terbatas (Pasal 107).
  • Gugatan di pengadilan tidak mutlak menunda pelaksanaan Keputusan TUN yang digugat (Pasal 67).
  • Putusan Hakim yang tidak boleh bersifat ultra petita yaitu melebihi apa yang dituntut dalam gugatan Penggugat, akan tetapi dimungkinkan adanya reformatio in peius (membawa Penggugat pada keadaan yang lebih buruk) sepanjang diatur dalam perundang-undangan.
  • Putusan hakim TUN yang bersifat erga omnes, artinya putusan tersebut tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa,  akan tetapi berlaku juga bagi pihak-pihak lainnya yang terkait.
  • Berlakunya azas audi et alteram partem, yaitu para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim menjatuhkan putusan.

PASAL 53 AYAT 1 DAN PASAL 54 AYAT 1 TUN

Gugatan
Pengertian Gugatan
“ Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapat putusan.Gugatan di Peratun diajukan oleh seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN. Oleh karenanya unsur adanya kepentingan dalam pengajuan gugatan merupakan hal yang sangat urgen dalam sengketa di Peratun. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 53 ayat (1), sebagai berikut Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang  berisi tuntutan agar KeputusanTata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitas
Pengajuan gugatan
Menurut Pasal 54 ayat (1) gugatan sengketa TUN diajukan secara tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat. Gugatan yang diajukan harus dalam bentuk tertulis, karena gugatan itu akan menjadi pegangan bagi pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan.
Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara, gugatan diajukan pada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan  tempat kediaman Penggugat, maka gugatan diajukan kepada pengadilan tempat kedudukan Penggugat untuk diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan. Sedangkan apabila Penggugat dan Tergugat berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, dan apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat diluar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di tempat kedudukan Tergugat.
Salah satu kekhususan di Peratun juga berkaitan dengan fungsi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang bukan saja sebagai pengadilan tingkat banding, akan tetapi juga mempunyai fungsi sebagai pengadilan tingkat pertama seperti halnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini terjadi apabila sengketa TUN tersebut berkaitan dengan ketentuan Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, yaitu yang mengatur tentang upaya banding administratif. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, sebagai berikut : “ Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ”.
Berhubung sengketa TUN selalu berkaitan dengan keputusan Tata Usaha Negara, maka pengajuan gugatan ke Pengadilan dikaitkan pula dengan waktu dikeluarkannya keputusan yang bersangkutan. Pasal 55 menyebutkan bahwa :“ Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.

INDONESIA ADALAH NEGARA HUKUM

Negara kita adalah Negara hukum, Negara yang berlandaskan hukum. Dalam menegakkan hukum Indonesia mempunyai lembaga tertinggi yaitu MAHKAMAH AGUNG dan di bawah mahkamah agung terdapat badan badan peradilan salah satunya yaitu PTUN. 

PTUN adalah badan peradilan yang ditugaskan menangani kasus sengketa TUN guna mencari keadilan yang sebenar benarnya, serta untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat

Kamis, 12 Januari 2012

PEMBAHASAN PASAL 351

Pembahasan dari pasal tersebut diatas :

 
1.   Undang undang tidak memberikan ketentuan apakah yang diartikan dengan “PENGANIAYAAN” (Mishandeling) itu , menurut YURISPRODENSI,maka yang diartikan dengan penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak ( Penderitaan ) , rasa sakit , atau luka .
Menurut alinea 4 dari pasal ini masuk pula dalam pengertia penganiayaan yaitu sengaja merusak kesehatan orang .
-       Perasaan tidak enak misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah ,suruh orang berdiri       diterik matahari dsb .
-       Rasa Sakit misalnya menyubit , mendupak , memukul , menempeleng dsb.
-       Luka misalnya mengiris , memotong ,menusuk dengan pisau dsb.
-    Merusak kesehatan misalnya oang sedang tidur dan berkeringat dibuka jendela kamarnya sehingga orang itu masuk angin.
Semuanya ini harus dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang di izinkan , umpamanya seorang dokter gigi mencabut gigi dari pasiennya , sebenarnya ia sengaja menimbulkan rasa sakit , akan tetapi perbuatan itu bukan penganiayaan , karena ada maksud baik   
( mengeobati ) contoh lain lagi : seorang bapak dengan tangan memukul anaknya diarah pantat, karena anak itu nakal ,inipun sebenarnya sengaja menyebabkan rasa sakit, akan tetapi perbuatan itu tidak masuk PENGANIAYAAN,karena ada maksud baik ( mengajar anak ) .
Meskipun demikian maka dua peristiwa itu apabila dilakukan dengan melewati batas yang di izinkan misalnya Dokter gigi tadi mencabutnya dilakukan sambil bergurau senda atau seorang bapak mengajar anaknya dengan memukul memakai sepotong besi dan dikenakan di kepalanya maka perbuatan ini dianggap pula sebagai PENGANIAYAAN.
2.      Penganiayaan ini dinamakan penganiayaan Biasa diancam  hokum  lebih berat apabila penganiayaan  biasa ini berakibat luka berat atau mati tentang luka berat atau mati .
Luka berat  atau  mati disini harus hanya merupakan akibat yang tidak dimaksud oleh si pembuat Apabila Luka berat itu dikenakan Pasal 354 KUHP ( Penganiayaan Berat ) yang berbunyi:
(1) Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain ,dihukum karena menganiaya berat   ,dengan        hukuman penjara selama – lamanya delapan tahun .
(2) Jika perbuatan ini menjadikan kematian oangnya sitersalah dihukum penjara selama – lamanya sepuluh tahun.
Ini dinamakan Penganiayaan Berat supaya dapat dikenakan pasal ini maka niat sipembuat harus ditujukan pada melukai beat artinya luka berat harus di maksud oleg sipembuat , apabila diada aksud dan luka berat itu hanya merupakan akibat saja maka perbuatan ini masuk Penganiayaan Biasa yang berakibat luka berat  ( Pasal 351 Alinea 2 ).
Sedang jika mati itu dimaksud , perbuatan itu masuk “Pembunuhan” itu dikenakan pasal 338  KUHP, Lain lagi halnya dengan seorang sopir yang mengendarai mobilnya kurang hati – hati ,menabrak orang hingga mati ,perbuatan ini bukanlah suatu penganiayaan berakibat matinya orang ( Pasala 351 alinea 3 KUHP ) oleh karena sopir tidak ada maksud sama sekali untuk menganiaya pun tidak masuk pembunuhan ( Pasal 338 KUHP ) karena kematian orang itu tidak dikehendaki oleh sopir , peristiwa itu dikenakan Pasal 359 KUHP yang berbunyi karena salahnya menyebabkan matinya orang lain.
    

TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN




Tindak Pidana Penganiayaan  yang diatur dalam PASAL 351 KUHP 
 
       (1).Penganiayaan yang dihukum dengan hukuman penjara selama- lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak – banyaknya Rp.4.500,-, (2). Jika Perbuatan itu menyebabkan luka berat , sitersalah dihukum penjara selama –lamanya lima tahun ,(3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya , dia dihukum penjara selama – lamanya tujuh Tahun , (4).Dengan Penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja ,(5).Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum

HUKUM KESEHATAN



UPAYA PENINGKATAN KUWALITAS  HIDUP MANUSIA DI BIDANG KESEHATAN
Upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan, merupakan suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh, usaha tersebut meliputi peningkatan kesehatan masyarakat baik fisik maupun non-fisik. Di dalam Sistem Kesehatan Nasional disebutkan, bahwa kesehatan menyangkut semua segi kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauannya sangat luas dan kompleks (Anonim, 1992:3). Hal ini sejalan dengan pengertian kesehatan yang diberikan oleh dunia intemasional sebagai: A state of complete physical, mental, and social, well being and not merely the absence of decease or infirmity (Koeswadji, 1992:17).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya masalah kesehatan menyangkut semua segi kehidupan dan melingkupi sepanjang waktu kehidupan manusia, baik kehidupan masa lalu, kehidupan sekarang maupun masa yang akan datang. Dilihat dari sejarah perkembangannya, telah terjadi perubahan orientasi nilai dan pemikiran mengenai upaya memecahkan masalah kesehatan. Proses perubahan orientasi nilai dan pemikiran dimaksud selalu berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan sosial budaya.
Kebijakan pembangunan di bidang kesehatan yang semula berupa upaya penyembuhan penderita, secara berangsur-angsur berkembang ke arah kesatuan upaya pembangunan kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan peran serta masyarakat yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan yang mencakup:
  1. upaya peningkatan (promotif);
  2. upaya pencegahan (preventif),
  3. upaya penyembuhan (kuratif);
  4. upaya pemulihan(rehabilitatif).
Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud di atas, dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial budaya, termasuk ekonomi, lingkungan fisik dan biologis yang bersifat dinamis dan kompleks. Menyadari betapa luasnya hal tersebut, pemerintah melalui sistem kesehatan nasional, berupaya menyelenggarakan kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dan dapat diterima serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Upaya tersebut diselenggarakan dengan menitikberatkan pada pelayanan kesehatan untuk masyarakat luas, guna mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Pokok permasalahannya sekarang, adalah bahwa kemampuan manajemen kesehatan yang merupakan kunci dari keberhasilan pembangunan kesehatan pada saat ini belum sepenuhnya memadai. Beberapa hal yang menjadi faktor penyebabnya adalah masih belum memadainya sistem informasi kesehatan untuk disebarluaskan kepada masyarakat, integrasi pelayanan kesehatan yang belum berjalan dengan baik, dan belum mantapnya pengendalian dan pengawasan serta penilaian program yang ditetapkan. Di samping itu manajemen organisasi dan tata kerja sistem pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat maupun daerah serta upaya kesehatan yang dikelola oleh masyarakat, temasuk pihak swasta, belum dirumuskan secara terperinci.
Mengingat bahwa upaya kesehatan harus dilaksanakan secara serasi dan seimbang oleh pemerintah dan masyarakat, sudah barang tentu pemerintah diharapkan lebih mampu menghadapi tugasnya agar dapat mengatur secara baik masalah yang menyangkut dengan kesehatan. Untuk itu masalah organisasi dan manajemen kesehatan harus selalu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh.
Dalam rangka pembangunan sektor kesehatan yang demikian kompleks dan luas, sangat dirasakan, bahwa peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya kesehatan perlu lebih disempumakan dan ditingkatkan. Jika dilihat dari aspek yuridisnya, dengan dikembangkannya sistem kesehatan nasional, sudah tiba saatnya untuk mengkaji kembali dan melengkapi peraturan perundang-undangan bidang kesehatan, dengan mengeluarkan berbagai produk pokok hukum yang lebih sesuai yang dapat:
  1. Mendukung adanya saran pelayanan, program, dan kegiatan dalam seluruh upaya kesehatan yang sudah atau yang akan dikembangkan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat termasuk sektor swasta.
  2. Memperhatikan kepentingan daerah dan diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan di sektor lain yang berkaitan dengan upaya kesehatan.
  3. Berfungsi mendorong pengembangan upaya kesehatan yang diinginkan di masa mendatang sesuai dengan tuntutan masyarakat yang dilayani.
  4. Mengatur kewenangan tiap tingkatan upaya kesehatan.
  5. Mengatur kewenangan dan tanggung jawab pembiayaan upaya kesehatan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
  6. Mengatur wewenang dan tanggung jawab serta dapat memberikan perlindungan hukum, bagi penerima dan pemberi jasa upaya kesehatan.
  7. Mengatur kualitas upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk swasta.
  8. Mengganti produk hukum yang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi.
  9. Memuat sanksi hukum yang sepadan, sehingga setiap pelanggar dapat ditindak sebagaimana mestinya.