Rabu, 11 Januari 2012

HUKUM


Ilmu hukum pidana
Ilmu hukum pidana berfungsi memberi keterangan terhadap hukum pidana yang berlaku. Ilmu ini mempelajari norma hukum dan pidana. Objek ilmu hukum pidana adalah hukum pidana

Tujuan mempelajari hukum pidana agar aparat penegak hukum dapat menerapkan aturan-aturan hukum pidana tersebut secara tepat dan adil.

Pidana dirasakan sebagai suatu yang tidak enak , sebagai penderitaan (nestapa). Oleh karena itu tidak boleh menjatuhkan pidana secara sembarangan, perlu adanya pembatasan. Oleh Karena itu hukum pidana harus :
1.        Menganalisa dan menyusun secara sitematis aturan-aturan tersebut
2.        Mencari azas-azas yang  menjadi dasar dari peraturan UU pidana.
3.        Memberi penilaian terhdap azas-azas tersebut apakah sudah sesuai dengan nilai dari negara atau bangsa yang bersangkutan dan selanjutnya juga.
4.        Menilai apakah peraturan-peraturan pidana yang berlaku sejalan dengan azas-azas tadi.
Ini adalah ilmu hukum pidan dalam arti sempit atau sering disebut ”straafrechtsdogmatik”


Kriminologi
Kriminologi adalah ilmu yang mempelajari kejahatan sebagai :
a.      gejala masyarakat (social phaenomeen) :
Gejala kejahatan, ”penjahat”, dan mereka yang ada sangkut-pautnya dengan kejahatan
b.      sebab-sebab kejahatan (fisik dan psikis)
c.      reaksi masyarakat terhadap kejahatan
Baik secara resmi oleh penguasa maupun tidak resmi oleh masyrakat umum.

Antara ilmu hukum pidana dan kriminologi memiliki hubungan yang bersifat timbal-balik dan interdependen. Ilmu hukum mempelajari akibat hukum dari perbuatan yang dilarang, sedangkan kriminologi mempelajari sebab dan cara menghadapi kejahatan.

Kejahatan yang dimaksudakan adalah sebagai berbuat dan tidak berbuat yang bertentangan dengan tata cara yang ada dalam masyarakat. Dilihat dari sudut ini maka lapangan penyelidikannya tidak hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan yang  oleh pembentuk UU dinyatakan sebagai delik.



Asas ini lebih berperan dalam menanggulangi masalah juridiksi yang ditimbulkan oleh internet. Misalnya Cyber Crime (Tindak Pidana di dunia maya) karena sistem hukum dan juridiksi nasional / teritorial mempunyai keterbatasan sehingga tidak mudah menjangkau pelaku tindak pidana di ruang maya yang tidak terbatas.

Untuk menghadapi kejahatan tanpa batas wilayah itu, dapat digunakan asas universal atau prinsip Ubikuitas (The principle of Ubiquity) atau Omnipresent (everywhere at the same time).  

Secara harfiah, ubikuitas artinya ada atau hadir di mana-mana.
Prinsip ubikuitas adalah prinsip yang menyatakan bahwa delik-delik yang dilakukan atau terjadi sebagian di wilayah teritorial negara dan sebagian di luar teritorial negara harus dapat dibawa ke dalam juridiksi setiap negara yang terkai







Subjek tindak pidana dalam KUHP adalah manusia. Adapun badan hukum, perkumpulan atau korporasi dapat menjadi subjek tindak pidana bila secara khusus ditentukan dalam UU (di luar KUHP).

Sedangkan mayat, hewan atau benda mati yang tidak dapat melakukan tindak pidana otomatis tidak dapat dituntut pidana sekaligus tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.



Syarat untuk memungkinkan adanya penjatuhabn pidana adalah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam UU. Ini merupakan konsekuensi logis dar asas legalitas sebagai prinsip kepastian.

Perumusan delik dalam KUHP biasanya dimulai denga kata ”barangsiapa” kemudian diikuti penggambaran perbuatan yang dilarang atau yang tidak dikehendaki atau diperintahkan oleh UU. Penggambaran perbuatan ini tidak dihubungkan dengan tempat dan waktu, tidak kongkrit dan disusun secara skematis.

Misalnya, Pasal 338 KUHP menggambarkan secara skematis syarat-syarat yang harus ada pada suatu perbuatan agar dapat dipidana berdasarkan pasal (pembunuhan) tersebut.

Dalam setiap per-UU-an hukum pidana selalu disertai perumusan norma hukum dan sanksi. Perumusan normanya ada 3 (tiga) cara :

a.      diuraikan atau disebutkan satu persatu unsur-unsur perbuatan (perbuatan, akibat dan keadaan yang bersangkutan, misalnya pasal 154, 281 dan 305.
b.      tidak diuraikan, tetapi hanya disebutkan kualifikasi delik, misal 297. 351. karen tidak disebutkan unsurnya secara tegas, maka perlu penafsiran historis (contoh: penganiayaan, tiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan ditujukan kepada orang lain yang mengakibatkan sakit atau luka). Cara ini tidak dibenarkan karena memunculkan penafsiran yang berbeda-beda sehingga tidak menjamin kepasatian hukum.
c.      penggabungan cara pertama dan kedua, misalnya pasal 124, 263, 338, 362, dll.

Penempatan norma dan sanksi ada 3 (tiga) cara :

a.      Penempatan norma dan sanksi sekaligus dalam satu pasal. Cara ini dilakukan dalam Buku II dan III KUHP kecuali pasal 112 sub 2 KUHP
b.      Penempatan terpisah, artinya norma hukum dan sanksi pidana ditempatkan dalam pasal atau ayat yang terpisah. Cara ini diikuti dalam peraturan pidana di luar KUHP.
c.      sanksi pidana talah dicantumkan terlebih dahulu, sedangkan normanya belum ditentukan. Cara ini disebut ketentuan hukum pidana yang blanko (Blankett Strafgesetze) tercantum dalam pasa 122 sub 2 KUHP, yaitu noramnya baru ada jika ada perang dan dibuat dengan menghubungkannya dengan pasal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar