Ilmu hukum pidana
Ilmu hukum pidana berfungsi memberi keterangan terhadap
hukum pidana yang berlaku. Ilmu ini mempelajari norma hukum dan pidana. Objek
ilmu hukum pidana adalah hukum pidana
Tujuan mempelajari hukum pidana agar aparat penegak hukum
dapat menerapkan aturan-aturan hukum pidana tersebut secara tepat dan adil.
Pidana dirasakan sebagai suatu yang tidak enak , sebagai
penderitaan (nestapa). Oleh karena itu tidak boleh menjatuhkan pidana secara
sembarangan, perlu adanya pembatasan. Oleh Karena itu hukum pidana harus :
1.
Menganalisa dan menyusun secara
sitematis aturan-aturan tersebut
2.
Mencari azas-azas yang menjadi
dasar dari peraturan UU pidana.
3.
Memberi penilaian terhdap azas-azas
tersebut apakah sudah sesuai dengan nilai dari negara atau bangsa yang
bersangkutan dan selanjutnya juga.
4.
Menilai apakah peraturan-peraturan
pidana yang berlaku sejalan dengan azas-azas tadi.
Ini adalah ilmu hukum pidan dalam arti sempit atau sering
disebut ”straafrechtsdogmatik”
Kriminologi
Kriminologi adalah ilmu yang mempelajari kejahatan
sebagai :
a. gejala masyarakat (social phaenomeen) :
Gejala kejahatan, ”penjahat”, dan mereka yang ada
sangkut-pautnya dengan kejahatan
b. sebab-sebab kejahatan (fisik dan psikis)
c. reaksi masyarakat terhadap kejahatan
Baik secara resmi oleh penguasa maupun tidak resmi oleh
masyrakat umum.
Antara ilmu hukum pidana dan kriminologi memiliki
hubungan yang bersifat timbal-balik dan interdependen. Ilmu hukum mempelajari
akibat hukum dari perbuatan yang dilarang, sedangkan kriminologi mempelajari
sebab dan cara menghadapi kejahatan.
Kejahatan yang dimaksudakan adalah sebagai berbuat dan
tidak berbuat yang bertentangan dengan tata cara yang ada dalam masyarakat.
Dilihat dari sudut ini maka lapangan penyelidikannya tidak hanya terbatas pada
perbuatan-perbuatan yang oleh pembentuk UU dinyatakan sebagai delik.
Asas ini lebih berperan dalam menanggulangi masalah
juridiksi yang ditimbulkan oleh internet. Misalnya Cyber Crime (Tindak
Pidana di dunia maya) karena sistem hukum dan juridiksi nasional / teritorial
mempunyai keterbatasan sehingga tidak mudah menjangkau pelaku tindak pidana di
ruang maya yang tidak terbatas.
Untuk
menghadapi kejahatan tanpa batas wilayah itu, dapat digunakan asas universal
atau prinsip Ubikuitas (The principle of Ubiquity) atau Omnipresent
(everywhere at the same time).
Secara harfiah, ubikuitas artinya ada atau hadir
di mana-mana.
Prinsip ubikuitas adalah prinsip yang menyatakan bahwa
delik-delik yang dilakukan atau terjadi sebagian di wilayah teritorial negara
dan sebagian di luar teritorial negara harus dapat dibawa ke dalam juridiksi
setiap negara yang terkai
Subjek tindak pidana dalam KUHP adalah manusia. Adapun
badan hukum, perkumpulan atau korporasi dapat menjadi subjek tindak pidana bila
secara khusus ditentukan dalam UU (di luar KUHP).
Sedangkan mayat, hewan atau benda mati yang tidak dapat
melakukan tindak pidana otomatis tidak dapat dituntut pidana sekaligus tidak
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
Syarat untuk memungkinkan adanya penjatuhabn pidana adalah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam UU. Ini merupakan konsekuensi logis dar asas legalitas sebagai prinsip kepastian.
Perumusan delik dalam KUHP biasanya dimulai denga kata
”barangsiapa” kemudian diikuti penggambaran perbuatan yang dilarang atau yang
tidak dikehendaki atau diperintahkan oleh UU. Penggambaran perbuatan ini tidak
dihubungkan dengan tempat dan waktu, tidak kongkrit dan disusun secara
skematis.
Misalnya, Pasal 338 KUHP menggambarkan secara skematis
syarat-syarat yang harus ada pada suatu perbuatan agar dapat dipidana berdasarkan
pasal (pembunuhan) tersebut.
Dalam setiap per-UU-an hukum pidana selalu disertai
perumusan norma hukum dan sanksi. Perumusan normanya ada 3 (tiga) cara :
a. diuraikan atau disebutkan satu persatu unsur-unsur perbuatan (perbuatan,
akibat dan keadaan yang bersangkutan, misalnya pasal 154, 281 dan 305.
b. tidak diuraikan, tetapi hanya disebutkan kualifikasi delik, misal 297. 351.
karen tidak disebutkan unsurnya secara tegas, maka perlu penafsiran historis
(contoh: penganiayaan, tiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan
ditujukan kepada orang lain yang mengakibatkan sakit atau luka). Cara ini tidak
dibenarkan karena memunculkan penafsiran yang berbeda-beda sehingga tidak
menjamin kepasatian hukum.
c. penggabungan cara pertama dan kedua, misalnya pasal 124, 263, 338, 362,
dll.
Penempatan norma dan sanksi ada 3 (tiga) cara :
a. Penempatan norma dan sanksi sekaligus dalam satu pasal. Cara ini dilakukan
dalam Buku II dan III KUHP kecuali pasal 112 sub 2 KUHP
b. Penempatan terpisah, artinya norma hukum dan sanksi pidana ditempatkan
dalam pasal atau ayat yang terpisah. Cara ini diikuti dalam peraturan pidana di
luar KUHP.
c. sanksi pidana talah dicantumkan terlebih dahulu, sedangkan normanya belum
ditentukan. Cara ini disebut ketentuan hukum pidana yang blanko (Blankett
Strafgesetze) tercantum dalam pasa 122 sub 2 KUHP, yaitu noramnya baru
ada jika ada perang dan dibuat dengan menghubungkannya dengan pasal ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar